Mereka bilang pernikahan ditakdirkan di surga dan dirayakan di bumi. Namun, pengalaman saya membuat saya dengan hormat tidak setuju atas pernyataan tersebut. Tidak ada yang bisa membayangkan persatuan yang begitu tidak mungkin seperti kami—dua jiwa gila yang bertekad untuk mengubah dunia, bukan dengan senjata dan kekerasan, tetapi dengan cinta, kasih sayang, dan sentuhan puisi revolusioner.
Ya, benar. Dua jiwa yang lahir di bagian dunia yang berbeda, dipisahkan oleh perbatasan paling dijaga di muka bumi, dan berasal dari latar belakang yang sepenuhnya berbeda, entah bagaimana menemukan satu sama lain dan memilih untuk berjalan bersama dalam ikatan pernikahan. Saya berusia 24 tahun; dia 43 tahun.
Saya lahir di kota kaya Lahore dan dibesarkan di ibu kota Pakistan, Islamabad, sebagai putri seorang ayah ekonom dan ibu politisi. Sedangkan suami-ku adalah putra asli Maisuma, sebuah lingkungan di Srinagar—sebuah kota yang berada dalam konflik selama lebih dari tujuh dekade. Tempat di mana setiap jalan menyimpan beban sejarah, kesedihan, dan ketahanan, namun tetap memukau dengan keindahannya.
Selama lebih dari 70 tahun, rakyat Kashmir telah berjuang dengan pertanyaan yang belum terjawab tentang nasib tanah air mereka—apakah harus merdeka atau bergabung dengan India atau Pakistan—sebuah konflik yang telah berlangsung sejak subkontinen memperoleh kemerdekaan dari pemerintahan Inggris pada tahun 1947.
Ketika kami bertemu, pada musim panas yang menentukan tahun 2005, saya bercita-cita menjadi seorang pelukis, sementara dia meletakkan senjatanya dengan harapan perdamaian, setelah menghabiskan puluhan tahun berperang untuk kemerdekaan tanahnya.
Pertemuan tak terduga itu terjadi ketika Mohammad Yasin Malik, pemimpin Jammu Kashmir Liberation Front (JKLF), sebuah kelompok pro-kemerdekaan yang menginginkan Kashmir terpisah dari India dan Pakistan, mengunjungi Islamabad dalam salah satu perjalanan politik-diplomatiknya. Dia diundang ke acara makan siang oleh masyarakat sipil di ibu kota, di mana saya menemani ibu saya, yang saat itu adalah Presiden Liga Perempuan Muslim Pakistan.
Dengan jujur, saya menghadiri acara itu tanpa banyak antusiasme, hanya sebagai formalitas. Sebagai seorang introvert, saya tidak pernah memiliki banyak kesabaran untuk pertemuan yang seremonial. Saya justru sempat mempertimbangkan untuk keluar pergi lebih awal, dan sekarang sering bertanya-tanya betapa berbeda hidup saya jika saya melakukannya. Tetapi saya tidak pergi—karena tiba-tiba, Yasin mulai membacakan bait puisi dari penyair Pakistan, Faiz Ahmed Faiz.
Pada saat itu, pertemuan itu berubah dari acara sosial yang sopan menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda—sebuah ruang yang dipenuhi dengan keyakinan, dengan keinginan untuk mengubah dunia. Saya tidak bisa berbicara untuk orang lain, tetapi hati saya berdebar dengan setiap kata yang diucapkan Yasin. Saya merasakan semangat kebebasan bangkit di dalam diri saya. Pada saat puisinya selesai, saya sudah mulai percaya pada apa pun yang diyakini pria ini, karena dia mempercayainya dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, seperti ilahi.
Saat pertemuan sore itu berakhir, kami bertukar beberapa kata. Dia meminta nomor saya; yang saya berikan tanpa sadar, mengira dia hanya bersikap sopan. Bagaimana mungkin seorang pria seperti dia punya waktu untuk menelepon gadis seperti saya? Saya bertanya-tanya. Tapi dia menelepon. Dan bukan hanya sekali. Panggilannya menjadi bagian rutin dalam hidup saya.
Kami berbicara tentang puisi dan revolusi, tentang musim semi dan musim gugur, tentang apa artinya sebenarnya hidup dan mati. Dalam percakapan ini, dia tidak pernah tampak seperti seorang politisi, apalagi seorang pejuang. Dia tampak bagi saya sebagai pria sederhana yang mengejar fatamorgana dunia ideal—dunia di mana ketidakadilan, tirani, dan penindasan tidak ada, di mana tidak ada anak yang dianggap lebih rendah dari yang lain.
Dan begitu, percakapan ini berlanjut, satu demi satu, hingga hari dia melamar saya. Saya terkejut—mungkin bahkan kesal. Tetapi kejutan dan kemarahan itu memudar ketika Yasin meyakinkan saya dan ibu saya bahwa dia tidak berbicara sembarangan; dia serius.
Semua orang yang saya kenal, dan banyak yang tidak saya kenal, bergegas memberitahu saya untuk tidak menikah dengannya. Tidak perlu menjadi jenius untuk melihat bahwa tidak ada jalan penuh mawar yang menanti saya, hanya jalan penuh duri. Ini akan menjadi keputusan terburuk dalam hidupmu, kata mereka. Kamu akan gila jika mengatakan ya, kata mereka.
Dan cukup gila, saya memang begitu.
Saya menerima lamaran Yasin, dan hanya dalam kejapan mata, saya menjadi seorang wanita yang sudah menikah, mengemas barang-barang saya untuk terbang ke Srinagar—ke tanah yang hanya saya pernah baca dalam puisi dan novel, tempat yang sering disebut surga di bumi.
Keindahan Kashmir
Hari-hari bersama Yasin, selama itu berlangsung, merupakan campuran antara romansa dan kesulitan. Saya melihat Kashmir sebagai tempat yang paling menakjubkan di bumi – keindahannya melampaui apa pun yang pernah berhasil diabadikan oleh penyair dan penulis. Tidak ada kata-kata, tidak ada syair, tidak ada lukisan yang dapat menggambarkan keindahannya.
Namun, yang lebih indah dari negeri itu adalah penduduknya. Mereka menyambut saya dengan hati terbuka, menghujani saya dengan cinta, kehangatan, dan kehormatan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Mereka menerima saya sebagai putri Pakistan, dari negara tetangga Muslim yang dipandang dengan penuh hormat.
Yasin mengajak saya berkendara jauh melintasi Kashmir, menunjukkan tempat-tempat yang hanya diketahui oleh penduduk setempat—seseorang yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun menjelajahi setiap sudutnya. Ia membawa saya ke gua-gua tersembunyi di pegunungan, lembah-lembah yang belum tersentuh, tempat dimana alamnya tetap murni, dan tempat-tempat di mana sungai menderu dengan kekuatan yang tak terkendali.
Pada saat-saat itu, saya mempertanyakan setiap peringatan yang pernah saya terima. Setiap teman, setiap simpatisan yang mengatakan kepada saya bahwa menikahi Yasin akan menjadi keputusan terburuk dalam hidup saya—betapa salahnya mereka semua.
Di balik itu; ada pasukan keamanan India dan kaum fasis, yang saya maksud adalah politisi Kashmir yang dikelola India, yang berulang kali mengingatkan saya bahwa penasihat saya tidak sepenuhnya salah. Berkali-kali, saya diingatkan tentang risiko yang telah mereka peringatkan kepada saya. Saya menghadapi pelecehan, penggeledahan tubuh yang invasif oleh pasukan keamanan, dan serangan kekerasan oleh gerombolan ekstremis – yang masih meninggalkan bekas di tubuh saya. Saya dikurung di rumah selama jam malam, sementara suami saya dipenjara bermil-mil jauhnya. Di sinilah saya pertama kali menyaksikan peraturan jam malam diberlakukan, mata saya merasakan pahitnya gas air mata, dan saya melihat kekerasan terjadi terhadap warga biasa dalam bentuk yang paling brutal.
Bukan hanya pasukan negara, tetapi juga kelompok tertentu juga melakukan kekerasan ini. Saya dicemooh dalam konferensi yang diadakan di hotel-hotel besar, dilempari botol kaca dan batu bata di luar tempat suci Sufi tempat saya mencari penghiburan, dan saya bahkan beberapa kali diserang saat meninggalkan rumah.
Pada saat-saat seperti inilah saya memikirkan kenyamanan rumah saya di Islamabad, keamanan yang dulu saya anggap remeh. Namun, saya juga mengingatkan diri sendiri bahwa saya tidak menghadapi situasi ini sendirian, melainkan semua orang Kashmir yang saya cintai yang telah membuat saya merasa betah di sini juga menghadapi hal yang sama, setiap hari. Pikiran ini memberi saya kekuatan – mengubah kesendirian menjadi solidaritas. Kami semua adalah senasib dalam penindasan.
Pada tahun 2012, kami dikaruniai seorang putri, Raziyah Sultan. Bahkan saat masih bayi, ia menanggung beban okupasi, dilucuti martabatnya dalam apa yang disebut 'pemeriksaan keamanan' yang menyebabkan popoknya disobek. Namun, ia mewarisi ketangguhan ayahnya. Ia tahu sejak awal: kami bukanlah keluarga yang tunduk pada tirani.
Hidup di Maisuma memang sulit, tetapi kami tetap bertahan. Rumah adalah tempat hati berada. Hati saya bersama Yasin, begitu pula Raziyah. Kami tidak dapat membayangkan hidup tanpanya, dan kami menghargai setiap momen di sisinya, baik saat penuh kehangatan maupun kesulitan.
Naiknya Modi ke tampuk kekuasaan
Lanskap politik sedang berubah. Pada tahun 2013, Narendra Modi berkuasa di India. Sebagai seorang yang sangat nasionalis, ia membawa serta janji untuk membungkam suara mereka yang tidak setuju, dengan ucapan-ucapan permusuhan khusus terhadap umat Muslim, dan permusuhan yang lebih dalam terhadap warga Kashmir. Ketika ia naik ke tampuk kekuasaan, Yasin berkata, "Kami tahu bagi kami hari-hari yang sulit telah tiba". Kata-katanya ternyata adalah ramalan.
Tahun lalu, di bawah pengawasan Modi, sebuah laporan Human Rights Watch menemukan pembunuhan di luar hukum yang sedang berlangsung di wilayah tersebut oleh pasukan tentara India, sementara yang lain terus menghadapi tuduhan terorisme palsu—seperti yang dialami suami saya ketika ia ditangkap pada tahun 2019. Penahanan aktivis hak asasi manusia Muhammad Ahsan Untoo, yang menyebabkan para ahli PBB mengutuk penangkapannya, bersama dengan pengakapan aktivis lainnya, sebagai bagian dari tindakan keras yang lebih luas terhadap jurnalis dan pembela hak asasi manusia.
Tahun ketika Modi mencabut Pasal 370—yang mencabut status otonomi khusus Jammu dan Kashmir—Yasin ditangkap di tengah tindakan keras yang meluas. Jam malam diberlakukan, dan lebih dari 10.000 tahanan politik ditahan. Sejak saat itu, saya tidak pernah melihatnya atau mendengar suaranya.
Meskipun saya sudah berusaha berkali-kali, pemerintah India bahkan tidak mengizinkan saya menelepon Yasin. Ia dijatuhi hukuman seumur hidup dalam persidangan palsu untuk kasus yang sudah berlangsung tiga dekade – yang berkaitan dengan era pra-rekonsiliasi dan menuduh Yasin melakukan penghasutan.
Yasin tidak diberi layanan kesehatan dasar; yang telah memperburuk kesehatannya secara serius. Ia diberi obat-obatan yang telah merusak organ-organ pentingnya dan membuatnya semakin menurun kesehatannya. Saya mendengar semua ini dari media dan bukan darinya.
Bertemu dalam mimpi
Hari dan malam terus berlalu, pertemuan kami hanya sebatas mimpi, di mana kami berpegang teguh pada harapan untuk bersatu kembali suatu hari nanti di dunia yang bebas dari rasa takut, penindasan, dan ketidakadilan. Dalam mimpi-mimpi ini, saya juga melihat Raziyah mengambil alih perannya suatu hari nanti, dan mengejar tujuan untuk membangun masyarakat yang egaliter.
Saya sangat percaya pada takdir ilahi. Dan hari ini pada Hari Solidaritas Kashmir ke-35, hari ketika orang-orang di seluruh dunia menyatakan solidaritas dengan orang-orang Kashmir, saya yakin bahwa segalanya akan berubah.
Saya yakin suatu hari nanti akan tiba saat saya tidak akan lagi menjadi ibu tunggal, saya tidak akan lagi harus mengurus rumah tangga, putri saya, dan perjuangan politik untuk pembebasan suami saya, saya tidak akan lagi menjadi sasaran stigma yang dikaitkan dengan seorang wanita lajang yang mandiri bahkan di abad ke-21, saya tidak akan lagi kehilangan tempat untuk menangis di saat-saat sakit dan penderitaan seperti saat meninggalnya ibu saya, dan saya tidak akan lagi mandul. Matahari akan bersinar sekali lagi pada Yasin, dan Insya Allah banyak warga Kashmir lainnya yang menghadapi penindasan hanya karena menuntut hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
SUMBER: TRT WORLD