YUSUF KAMADAN
Delapan tahun, 66 seniman, 200.000 lembar kertas bebas asam dari lima negara, putih telur dari 800.000 butir telur organik — itulah gambaran dari proyek kolosal yang dikerjakan oleh Huseyin Kutlu, seorang maestro kaligrafi Islam, setelah menerima penugasan dari Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdogan.
Karya yang telah selesai ini diharapkan akan meninggalkan jejak yang mendalam dalam dunia seni Al-Quran.
Proyek ini, yang dikenal dengan nama "Istanbul Mushaf", adalah sebuah usaha monumental yang melibatkan kerja keras Kutlu dan tim senimannya. Proyek ini bukan sekedar penyalinan Al-Quran, melainkan eksplorasi mendalam tentang sejarah dan geografi Islam, di mana para seniman berusaha menghidupkan kembali tradisi seni Al-Quran kuno yang pernah berkembang selama 15 abad peradaban Islam.
“Dalam sejarah Islam, para pemimpin Muslim memberikan perhatian besar pada Mushaf (salinan tertulis Al-Quran), dengan memulai proyek-proyek yang akan meninggalkan jejak mereka jauh setelah mereka tiada. Tim saya telah menunjukkan cinta, semangat, dan rasa hormat yang sama pada Mushaf yang kami hasilkan. Tidak ada yang memiliki kesempatan untuk melihatnya secara keseluruhan hingga saat ini. Kami memutuskan untuk menampilkannya dalam Mushaf dari zaman Nabi hingga masa kini. Melalui penelitian lapangan dan studi mendalam, kami mengidentifikasi 10 periode utama dalam sejarah seni Mushaf untuk tujuan ini,” kata Huseyin Kutlu.
Setiap dari 10 jilid Istanbul Mushaf adalah karya seni tersendiri, yang dirancang dengan teliti untuk mencerminkan seni dan budaya dari era masing-masing. Dari masa awal Kekhalifahan Rasyidin hingga era modern, Istanbul Mushaf menjadi bukti sejarah dan warisan budaya yang kaya dari dunia Islam.
“Jilid pertama dimulai dari masa Nabi kita. Ini mencakup periode Umayyah, Abbasiyah, Ghaznawi, Seljuk Agung, Ayyubiyah, dan Seljuk Anatolia. Karena tidak banyak evolusi dalam periode ini, kami mewakili semuanya dalam satu jilid. Jilid kedua adalah Mamluk, ketiga Andalusia. Jilid keempat mencakup periode Ilkhanid-Jalayir, bagian kelima Turkmen, bagian keenam periode Timurid, bagian ketujuh Mughal, bagian kedelapan Safavid, bagian kesembilan dari pendirian Kekaisaran Ottoman hingga masa Suleiman yang Agung, dan jilid kesepuluh, dari Suleiman yang Agung hingga masa kini... Kami mempertimbangkan teknik tata letak halaman dan desain dari setiap periode, berbagai jenis teks yang digunakan, jenis dekorasi dan penjilidan yang digunakan, serta warna apa yang digunakan selama periode tersebut. Kami mengakses semua Mushaf di perpustakaan dunia dan memeriksanya. Kami memulai dengan tim berjumlah 66 orang, mempelajari gaya dari setiap periode,” tambah Kutlu.
Proyek ini tidak tanpa tantangan. Kutlu dan timnya menghadapi berbagai hambatan, mulai dari mencari bahan terbaik hingga menguasai teknik rumit kaligrafi tradisional. Namun, dedikasi dan kecintaan mereka pada seni mendorong mereka untuk terus maju, dan pada akhirnya, mereka menghasilkan karya dengan keindahan dan makna yang tiada tara.
Salah satu aspek paling luar biasa dari proyek ini adalah penggunaan bahan-bahan. Untuk menghasilkan 200.000 lembar kertas manuskrip, tim menggunakan putih telur dari 800.000 butir telur organik. Pilihan ini tidak hanya mencerminkan metode tradisional yang digunakan dalam kaligrafi Islam, tetapi juga menyoroti komitmen tim terhadap keaslian dan keunggulan.
“Negara-negara seperti Jepang, India, Jerman, Italia, dan Spanyol memproduksi kertas bebas asam buatan tangan. Kami membawa kertas-kertas ini. Tentu saja, kami menerapkan beberapa proses pada kertas ini di sini. Saya mencoba kertas-kertas ini dan menyukai beberapa di antaranya. Namun, masalah lain adalah umur panjang lembaran ini. Ada Pusat Energi Atom di Kahramankazan. Di sana kami menguji ketahanannya. Beberapa bertahan hingga 100 tahun, yang lain tidak. Tentu saja, saya terkejut dengan situasi ini, saya tidak mengharapkan hal seperti itu. Jadi apa yang akan kami lakukan? Ada dua Mushaf terpisah dari Yaqut al Mustasimi dari periode Abbasiyah di Perpustakaan Suleymaniye dan Istana Topkapi. Mereka mengilap, tidak ada yang rusak. Jadi ini ada hubungannya dengan pembuatan kertas. Kami juga memiliki sedikit pengetahuan tentang cara membuat kertas. Kami memutuskan untuk mencoba membuat kertas sendiri. Dengan bantuan Tuhan, kami berhasil. Di sisi lain, karena pewarna adalah campuran bahan kimia, kami membuat warna sendiri menggunakan pigmen, tanah, dan pewarna akar. Kami menguji ini. Mereka tetap baik hingga bertahan 500 tahun,” kata Kutlu.
Selain itu, tim merancang mesin pembuat kertas khusus untuk memastikan setiap lembar memenuhi standar tinggi mereka. Perhatian terhadap detail dan inovasi ini mencerminkan dedikasi dan semangat yang dituangkan dalam pembuatan Istanbul Mushaf.
Setiap detail manuskrip dipertimbangkan dengan cermat, mulai dari sampul luar hingga tintanya. Sampul, sampul dalam, kertas akhir, dan halaman judul setiap jilid dirancang dalam berbagai gaya, menampilkan tradisi seni yang beragam dalam sejarah Islam. Bahkan tinta yang digunakan dalam manuskrip dibuat dari bahan alami, menyoroti komitmen tim terhadap keaslian dan tradisi.
Istanbul Mushaf bukan hanya salinan Al-Quran; ini adalah penghormatan hidup terhadap seni dan budaya peradaban Islam. Setiap halamannya adalah mahakarya, bukti keterampilan dan dedikasi para penciptanya. Dengan proyek ini akhirnya selesai, karya ini akan menjadi mercusuar inspirasi bagi generasi seniman dan kaligrafer di masa depan, pengingat akan warisan seni dan budaya Islam yang abadi.
SUMBER: TRT WORLD