Para legislator di Israel dan Amerika Serikat secara bersamaan mengajukan rancangan undang-undang di badan legislatif tertinggi kedua negara tersebut untuk mengganti nama 'Tepi Barat' dengan istilah Alkitab injil 'Yudea dan Samaria'.
Tepi Barat (West Bank) yang diokupasi, tempat tinggal sekitar tiga juta warga Palestina, adalah wilayah yang membentang di sepanjang perbatasan timur Israel dan telah direbut oleh Tel Aviv bersama Yerusalem Timur dan Gaza dalam perang tahun 1967.
Israel sering mengutip referensi Alkitab untuk membenarkan klaimnya atas tanah Palestina. Bahkan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengutip referensi agama dalam pidatonya untuk membenarkan perang di Gaza yang menewaskan setidaknya 48.239 warga Palestina selama 15 bulan.
Rancangan undang-undang yang diajukan di Knesset Israel dan Senat AS juga sangat bergantung pada referensi Alkitab untuk membenarkan penggantian nama sepihak wilayah tersebut, yang – bersama Yerusalem Timur dan Gaza – akan menjadi bagian dari negara Palestina merdeka di masa depan.
RUU Israel menyatakan bahwa Yudea dan Samaria adalah bagian yang "tidak terpisahkan" dari tanah air bangsa Yahudi karena "leluhur, nabi, orang bijak, dan raja mereka" menjadikan wilyah ini sebagai ibu kota.
Demikian pula, RUU AS menyerukan untuk mengakhiri "kebingungan besar atas nama asli zona pengaruh Israel" dengan mengganti nama wilayah Tepi Barat yang diduduki dengan istilah "historis yang akurat" yaitu Yudea dan Samaria.
Para ahli mengatakan bahwa upaya penggantian nama terbaru ini adalah bagian dari kampanye propaganda Israel untuk memberikan legitimasi pada pendudukan ilegalnya atas wilayah Palestina tersebut.
"Tepi Barat adalah wilayah yang diokupasi secara ilegal menurut hukum internasional, dan bagaimana pun Israel memilih untuk menamainya... pendudukannya yang terus berlanjut adalah pelanggaran berat terhadap hukum internasional," kata Omer Bartov, seorang profesor Yahudi di bidang Studi Holocaust dan Genosida di Universitas Brown, AS.
Sejak 22 Juli 1968, "komite penamaan" pemerintah Israel telah memutuskan bahwa Tepi Barat yang diduduki harus disebut Yudea dan Samaria, kata Bartov kepada TRT World.
Pada tahun 1977, pemerintah Israel memutuskan bahwa semua dokumen resmi negara, termasuk perintah militer, harus merujuk pada wilayah tersebut dengan nama itu.
"Dengan kata lain, tidak ada kebutuhan untuk legislasi saat ini, dan sifatnya sebagian besar bersifat propagandistik," kata Bartov, menambahkan bahwa referensi Alkitab tentang hak-hak historis hanya memiliki "beban emosional dan ideologis."
"Yang lebih penting adalah fakta bahwa warga Palestina adalah dan tetap menjadi penduduk asli Palestina dan sebagian besar telah dipindahkan oleh proyek pemukiman ilegal dan pembangunan negara Zionis," tambahnya.
Meskipun Gaza menjadi sasaran utama agresi Israel sejak 7 Oktober 2023, Tepi Barat yang diduduki juga mengalami peningkatan serangan pemukim dan serangan militer dalam beberapa bulan terakhir, yang menyebabkan ratusan orang tewas dan terluka.
Terpilihnya Presiden Donald Trump di AS juga mendorong upaya Tel Aviv untuk semakin memperkuat cengkeramannya atas wilayah Palestina yang diduduki itu.
Calon Trump untuk duta besar AS ke Israel, Mike Huckabee, adalah "pendukung kuat Israel" dan mendukung pendudukan Israel di Tepi Barat.
Hal ini bertentangan dengan keputusan Pengadilan Internasional (ICJ) pada 19 Juli 2024, yang menyatakan bahwa Israel harus mengakhiri pendudukannya atas wilayah Palestina, termasuk Tepi Barat, membongkar pemukimannya, memberikan reparasi penuh kepada korban Palestina, dan memfasilitasi kembalinya orang-orang yang telah dipindahkan secara paksa.
‘Kebijakan pembersihan etnis secara bertahap’
Meskipun proses perdamaian yang berlangsung selama bertahun-tahun, pemerintah Israel berturut-turut telah mengizinkan perluasan pemukiman. Jumlah pemukim di Tepi Barat yang diduduki, tidak termasuk Yerusalem Timur, meningkat dari sekitar 110.000 pada tahun 1993 menjadi lebih dari setengah juta pada tahun 2023.
Israel telah menggunakan pemukiman ini sebagai alasan untuk menunda pembentukan negara Palestina yang berkesinambungan dan layak. Militer Israel mengontrol Tepi Barat yang diduduki, sementara Otoritas Palestina (PA), badan pemerintah yang dikendalikan oleh Fatah, hanya memiliki kendali terbatas di pusat-pusat populasi.
Kehadiran pemukiman Israel dan infrastruktur yang menyertainya, seperti jalan khusus pemukim ilegal dan pos pemeriksaan militer, membatasi pergerakan warga Palestina, sehingga mengurangi peluang kerja dan menghambat perdagangan serta bisnis.
Bartov mengatakan Israel mulai menerapkan teknik yang sama di Tepi Barat yang diduduki seperti yang digunakan di Gaza selama 15 bulan terakhir. Tujuan Israel adalah membuat kehidupan sehari-hari menjadi hal yang tidak mungkin bagi penduduk Palestina dengan menerapkan "kebijakan pembersihan etnis secara bertahap," tambahnya.
Richard Falk, seorang profesor emeritus hukum internasional di Universitas Princeton, juga mengatakan kepada TRT World bahwa internasionalisasi penggantian nama Tepi Barat oleh Zionis bertentangan dengan konsensus internasional.
Hal ini "mengindikasikan konfrontasi" yang tampaknya menjadi niat bersama Netanyahu dan Trump, katanya.
"Jika diterapkan secara substansial, (upaya penggantian nama) ini akan semakin memperburuk situasi yang sudah genting yang dihadapi rakyat Palestina," tambahnya.
Penggunaan referensi Alkitab seperti Yudea dan Samaria adalah cara simbolis bagi proyek Zionis untuk menyampaikan penolakannya terhadap keberadaan negara Palestina, catat Falk.
Argumen Palestina didasarkan pada Konvensi Jenewa Keempat yang mengatur situasi pendudukan militer yang dimulai setelah Perang 1967, katanya.
Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat menyatakan bahwa kekuatan pendudukan tidak boleh memindahkan bagian dari penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya.
Oleh karena itu, Israel tidak diizinkan berdasarkan Konvensi Jenewa untuk "menetapkan" warganya di dalam wilayah Palestina yang didudukinya—sesuatu yang telah dilakukan Tel Aviv secara sistematis di Tepi Barat sejak 1967.
Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB, dan Pengadilan Internasional telah menyatakan bahwa pemukiman Israel di Tepi Barat telah jelas melanggar Konvensi Jenewa Keempat.
"Pemerintah dan media harus menolak mengikuti langkah Israel (penggantian nama ini)," kata Falk, menambahkan bahwa Israel tidak pernah memenuhi harapan para pemangku kepentingan bahwa pendudukannya atas Tepi Barat akan bersifat sementara – sesuatu yang "diasumsikan secara otoritatif" dalam Resolusi Dewan Keamanan 242 yang diadopsi dengan suara bulat pada 22 November 1967.
Elise Stefanik, utusan Trump untuk PBB, baru-baru ini mengatakan pada sidang konfirmasi Senatnya pada 21 Januari bahwa Israel memiliki "hak Alkitabiah" atas "seluruh Tepi Barat" – sebuah posisi yang menempatkan AS bertentangan dengan pandangan PBB tentang wilayah-wilayah Palestina yang diokupasi.
"Gagasan bahwa pada tahun 2025, Israel masih menggunakan Alkitab untuk membenarkan program kolonisasinya adalah absurd. Ini sepenuhnya tidak dapat diterima. Ini ilegal. Ini melanggar hukum internasional," kata Antony Loewenstein, penulis The Palestine Laboratory, kepada TRT World.
"Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa Israel semakin bergerak menjadi negara teokratis," tambahnya.
"Orang Arab telah tinggal di sana selama ribuan tahun. Tidak hanya mereka memiliki hubungan spiritual tetapi mereka juga punya hak hukum untuk tinggal di tanah air mereka sendiri."
SUMBER: TRT WORLD