Pada tahun 2009, Ulas Tekerkaya bekerja sebagai koki protokol di pangkalan militer NATO di Konya, kota bersejarah di Türkiye tempat ia lahir dan dibesarkan.
Terletak di jantung Anatolia, Konya adalah tempat peristirahatan Mevlana Jalaluddin Rumi, cendekiawan dan penyair Islam abad ke-13 yang warisan spiritualnya menarik puluhan ribu pengunjung setiap tahun.
Suatu hari, karena rasa penasaran, komandan pangkalan militer di tempat ia bekerja mengajukan pertanyaan yang mengubah hidup Tekerkaya: “Apakah Mevlana hanya makan kebab oven?”
Pertanyaan sederhana itu membuat Tekerkaya bertanya-tanya apakah mungkin untuk mengetahui jenis hidangan yang umum pada masa Mevlana Rumi.
Tekerkaya mulai mendalami karya dan tulisan Mevlana, di mana ia menemukan potongan-potongan informasi tentang resep masakan dari era tersebut. Koki ini kemudian terinspirasi untuk menghidupkan kembali cita rasa itu.
“Tantangan terbesar adalah sumber sering yang kali hanya menyebutkan bahan-bahannya tanpa memberikan resep lengkap. Biasanya tidak ada informasi tentang proporsi bahan atau cara memasaknya. Tapi saya bisa mengatakan bahwa saya dapat menangkap 95 persen dari resep aslinya,” ujar Tekerkaya kepada TRT World.
Sebagai contoh, Mevlana pernah berkata, “Dicampur dengan almond dan kenari, halva almond memaniskan lidahku dan membawa cahaya ke mataku. Ambil mentega, almond, dan tepung, lalu buatlah halva almond,” jelas Tekerkaya.
“Dia memberi tahu kita bahwa almond, tepung, dan mentega ada di dalamnya, tetapi dia tidak memberikan takarannya. Jadi, saya menentukan proporsinya dengan mencoba-coba.”
Sejak itu, Tekerkaya dikenal sebagai semacam arkeolog kuliner. Ia menggali arsip dan manuskrip kuno, mencari detail tentang hidangan yang dibuat oleh nenek moyang kita. Baru-baru ini, ia memukau para pecinta kuliner dengan menciptakan kembali roti Neolitik yang berusia 8.600 tahun.
Namun, bagaimana Tekerkaya, yang kini berusia 46 tahun, mulai mencari resep dari Zaman Batu kuno?
Somatci Fihi Ma Fih
Tekerkaya masih memasak untuk para tentara di pusat komando NATO ketika ia mulai bereksperimen dengan hidangan yang dijelaskan Mevlana dalam tulisannya.
Melalui proses coba-coba, ia menemukan kembali cara memasak hidangan kuno, sambil tetap setia pada resep asli seperti yang tertulis dalam karya-karya Mevlana seperti Masnavi, Divan-i Kabir, dan Fihi Ma Fih.
Selain dari tradisi Mevlevi, beberapa resepnya juga didasarkan pada masakan era Kekaisaran Seljuk. Dinasti Seljuk, sebuah dinasti Turki yang kuat yang menguasai sebagian besar Anatolia pada abad ke-11 hingga ke-13, memainkan peran penting dalam membentuk warisan budaya dan kuliner di wilayah tersebut, mereka menggabungkan pengaruh Persia, Arab, dan Turki ke dalam masakan mereka.
Sejak memulai penelitiannya, Tekerkaya telah mengembangkan 45 resep berdasarkan masakan Mevlevi dan Seljuk, termasuk hidangan utama, makanan penutup, dan minuman, seperti Hassaten Lokma, Stuffed Figs, dan Rose Sherbet.
Karena hidangannya yang semakin populer, Tekerkaya berhenti dari pekerjaannya di pangkalan militer pada tahun 2011 untuk membuka Somatci Fihi Ma Fih, restoran pertama di dunia yang menyajikan masakan era Mevlevi dan Seljuk.
Nama restoran ini berasal dari tradisi Mevlevi. “Somat” berarti meja, dan “somatci” berarti seseorang yang menyiapkan dan membersihkan meja. “Fihi Ma Fih” secara kasar diterjemahkan menjadi “apa adanya.”
Melalui inisiatifnya, koki ini juga berharap untuk mengedukasi pelanggannya tentang budaya Mevlevi dan mewariskan pengetahuannya kepada generasi mendatang. Untuk tujuan itu, ia menerbitkan buku resep dalam bahasa Turki/Inggris pada tahun 2019 berjudul Somat’a Sala (Undangan untuk Makan Malam), yang menampilkan ayat-ayat dari Al-Quran dan karya-karya Mevlana.
Hidangan yang disajikan sangat berbeda dengan yang apa yang dijual di restoran biasa lainnya.
Bahan dan bumbu dari Jalur Sutra
Hidangan Tekerkaya tidak menyertakan beberapa bahan dasar memasak masa kini, seperti tomat, mentimun, atau minyak, karena tidak ada bahan-bahan ini yang digunakan saat itu. Sebaliknya, ia menyarankan produk-produk yang dibawa oleh karavan Jalur Sutra.
Hidangannya dibumbui dengan rempah-rempah seperti jintan, kayu manis, garam, atau saus dan dibuat dengan akar tanaman. Hidangannya juga mengandung banyak kacang almond, hazelnut, pistachio, dan buah-buahan kering. Salah satu hidangan utamanya adalah daging yang dimasak dengan buah ara kering, bawang putih, lada hitam, dan jintan. Pada menunya, Anda akan menemukannya hanya sebagai Daging dengan Buah Ara.
Ambil contoh lain: serbat Sirkencubin, minuman yang terbuat dari madu dan cuka. Dalam tulisannya, Mevlana menggambarkan minuman tersebut dengan kata-kata berikut: "Penderitaan adalah cuka, kasih karunia seperti madu; keduanya adalah dasar dari Sirkencubin."
Tekerkaya menemukan bahwa Sirkencubin memerlukan campuran satu cangkir madu, satu cangkir cuka, dan dua cangkir air. Ia juga menyadari bahwa meskipun air panas dapat digunakan untuk mencampur, minuman tersebut paling baik disajikan dalam keadaan dingin.
“Mevlana mengajarkan kita bahwa hal-hal yang bertolak belakang dapat hadir bersama dan pada saat yang sama menjadi sumber penyembuhan bagi manusia.”
Hidangan kuno yang dihidupkan kembali
Pada tahun 2015, rasa ingin tahu Tekerkaya meluas lebih dalam ke sejarah Konya. Ia berusaha menghidupkan kembali tradisi kuliner dari pemukiman Neolitikum di wilayah tersebut, Catalhoyuk dan Boncuklu Hoyuk, yang sudah ada sejak 8.500 SM.
"Dengan meneliti temuan arkeologi, saya mengidentifikasi bahan dan bumbu yang digunakan orang pada saat itu dan mengembangkan 35 resep berdasarkan kesimpulan tentang apa yang mereka konsumsi," kata Tekerkaya kepada TRT World.
Misalnya, banyak resepnya didasarkan pada pengocok garam kuno yang digali selama penggalian, yang menunjukkan penggunaan garam di wilayah tersebut di masa awal peradaban. Jadi, Tekerkaya menyajikan hidangannya yang hanya dibumbui dengan garam. Namun, tentu terdapat beberapa tantangan lain.
"Kita berbicara tentang resep dari 10.000 tahun yang lalu. Beberapa bahan yang sekarang sangat langka atau mungkin terlupakan atau telah lenyap dari tanah," seperti berbagai umbi atau buah ara liar dan kacang almond, jelas Tekerkaya.
Melalui dengan kerja keras dan kegigihan, ia berhasil mendapatkan bahan-bahan yang hilang, menanam dan membudidayakannya sendiri.
“Butuh waktu tiga tahun untuk menanam sawi liar. Selama dua tahun, sawi itu tidak berkecambah sama sekali. Setelah banyak upaya yang gagal, bumi akhirnya menyediakan tanaman itu bagi kami,” kata koki itu. Tanaman musim dingin itu bertunas di musim gugur, menghasilkan biji, dan mati begitu cuaca mulai menghangat di musim semi.
Tekerkaya menyusun resep-resep ini menjadi buku masak lain, memadukan wawasan kuliner dengan pengetahuan sejarah. Pada tahun 2022, buku itu memenangkan Penghargaan Khusus A06 yang bergengsi di Gourmand Cookbook Awards.
“Saya bahkan memasak landak,” kenang Tekerkaya. “Dalam penggalian Catalhoyuk, tulang yang paling banyak digerogoti dan dikikis adalah milik landak dan burung liar, yang menunjukkan bahwa mereka adalah sumber makanan yang umum. Saya berkonsultasi dengan otoritas agama untuk memastikan hal itu diperbolehkan dalam Islam dan mengetahui bahwa itu tidak dilarang, jadi saya mencobanya.”
Roti berusia 8.600 tahun
Dua tahun lalu, para arkeolog menemukan benda hangus seperti spons di Catalhoyuk yang ternyata adalah roti beragi.
Penemuan tersebut, yang berasal dari sekitar 6.600 SM, dianalisis untuk biji-bijian, dan terungkap bahwa roti tersebut mengandung bahan-bahan seperti kacang polong, jelai, dan gandum.
Begitu analisisnya berhasil, Tekerkaya turun tangan. Kini ia memiliki semua yang ia butuhkan untuk menjalankan sihirnya.
“Namun, membuat roti itu tidak mudah. Meskipun saya memiliki daftar lengkap komponennya, beberapa bahan sangat sulit ditemukan, dan sekali lagi saya tidak tahu takarannya,” katanya. Bahan-bahan yang paling sulit ditemukan adalah varietas biji-bijian yang tidak dikenal oleh penduduk setempat yang disebut “mudurluk” dan tepung kacang polong.
Tekerkaya bereksperimen selama lebih dari setahun sebelum menyempurnakan resepnya. Ia mengatakan sampel awalnya sangat kaku dan pahit, tetapi produk akhir eksperimen ini menjadi sempurna.
Peralatan memasak yang ia gunakan juga sesuai dengan zamannya.
Tekerkaya memanggang roti kuno menggunakan batu giling buatan tangan, pot terakota, dan kendi, meniru apa yang sudah tersedia bagi orang-orang ribuan tahun lalu. Praktik yang sama berlaku untuk semua hidangan bersejarahnya yang lain.
Duta budaya di luar negeri
“Saya memperkenalkan kuliner Mevlevi dan Catalhoyuk ke negara saya, lalu berpikir, ‘Mengapa tidak membagikannya kepada dunia?’ Begitulah akhirnya saya tinggal di Belanda,” kata Tekerkaya.
Selama dua setengah tahun terakhir, ia tinggal di Amsterdam, tempat ia membuka cabang restorannya yang lain, Somatci. Dalam banyak hal, ia telah menjadi duta budaya bagi warisan sejarah Konya yang kaya sejarah.
“Saya memberi tahu pengunjung tentang budaya dan sejarah Turki, dan mereka selalu terpesona. Mereka sering berkata, ‘Apakah ini benar-benar budaya Turki? Kami pikir makanan Turki hanya tentang panggangan dan kebab.’,” katanya.
Pekerjaannya di luar negeri cukup memuaskan. “Orang-orang tidak hanya pulang dengan perut kenyang tetapi juga pemahaman yang lebih dalam tentang budaya dan sejarah kita. Beberapa tamu kami bahkan telah bepergian ke Konya untuk menjelajahi kota Mevlana dan mengunungi Catalhoyuk setelah bersantap di restoran kami.”
Proyek terbaru Tekerkaya mengalihkan fokus ke sejarah terkini Turki. Ia mengumpulkan resep-resep yang diwariskan dari para pendahulu orang-orang yang hidup seabad lalu, selama tahun-tahun awal Republik Turki. Buku resep baru ini akan diterbitkan pada tahun 2026.
“Kisah-kisah di balik resep-resep ini sungguh luar biasa. Misalnya, kami memiliki hidangan tentang apa yang akan dihidangkan kepada seorang pengantin pria ketika ia mengunjungi ibu mertuanya pada pagi hari setelah pernikahannya, dan mengapa hidangan khusus itu dipilih,” kata Tekerkaya. Tradisi ini masih dipraktikkan di beberapa bagian Anatolia.
Hidangan sarapan, Kaygana, dibuat dengan telur, mentega, dan tepung. Tekerkaya menduga namanya terkait dengan kata Turki “kaynana”, yang berarti ibu mertua.
“Buku ini akan menyoroti momen-momen yang sangat spesifik namun sangat simbolis dan menjelaskan tradisi kuliner yang terkait dengan kuliner itu.”
Menengok kembali seberapa jauh perjalanannya telah membawanya, Tekerkaya merenungkan sebuah kutipan dari Mevlana: “Saya mengetuk satu pintu, tetapi pintu demi pintu tak kunjung berakhir.”
Bagi Tekerkaya, setiap pintu yang ia buka tidak hanya mengungkap resep, tetapi juga cerita, kenangan, dan hubungan mendalam dengan masa lalu bersama. “Kita memiliki sejarah yang sangat kaya,” katanya, “dan ada sesuatu yang baru untuk ditemukan setiap hari.”
SUMBER: TRT WORLD